Ada pertanyaan yang selalu menarik untuk dibahas baik oleh para Filosof, Teolog ataupun orang awam seperti saya ini, pertanyaan itu adalah:
Benarkah segala sesuatu di Alam Semesta ini, termasuk nasib Manusia telah ditentukan?
Pertanyaan tersebut menjadi menarik karena apapun jawabannya bisa membawa konsekuensi logis yang cukup signifikan untuk mempengaruhi fikiran, pemahaman bahkan perilaku manusia.
Lebih jauh bisa saja timbul pertanyaan selanjutnya. “Jika segala sesuatunya telah ditentukan, untuk apa saya beribadah kepada Tuhan?” Atau pernyataan “Biar saja aku berbuat maksiat toh semua ini telah ditentukan Tuhan”. Sikap tersebut timbul karena kita berfikir seolah-olah kita hanya sebagai aktor yang memainkan peran, sedang cerita dan skenario telah ditentukan Tuhan. Lebih ekstrim lagi adalah pernyataan: Kalau segala sesuatu telah ditentukan Tuhan, termasuk perilaku manusia, maka adalah tidak adil kalau nanti Tuhan meminta pertanggung jawaban atas perilaku manusia. Pemikiran dan sikap seperti Ini perlu diwaspadai karena dapat menjadikan manusia hidup apatis. Padahal sikap apatis seperti ini sebenarnya tidak logis juga karena kita sesungguhknya kita tidak tahu apa dan bagaimana kita telah ditentukan.
Dalam Al-Quran, banyak ditemukan ayat-ayat mengenai hal tersebut, yang intinya semua kejadian di Alam Semesta ini termasuk nasib manusia telah tertulis pada kitab yang nyata: Lauhul Mahfudz. Ayat-ayat tersebut antara lain:
“.. dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauhul Mahfudz)"
(6. Al An'aam:59)
Tiada sesuatupun yang ghaib di langit (singular) dan di bumi, melainkan (terdapat) dalam kitab yang nyata (Lauhul Mahfdz).
(27. An Naml:75)
Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfudz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
(57. Al Hadiid: 22)
Analisa Logis
Jika segala sesuatu yang di Langit dan di Bumi ini tertulis di Lauhul Mahfudz, maka awal kejadian dan akhir Alam Semesta ini juga tertulis di kitab induk tersebut. Karena kejadian Alam Semesta ini dimulai pada dentuman besar Big-Bang, bersama terbentuknya Ruang-Waktu. Ini membawa konsekuensi logis bahwa Luhul Mahfudz diluar Ruang-Waktu. Diluar Ruang-Waktu, khususnya diluar Waktu berarti tidak ada konsep Sebelum, Sesudah, Dulu, Sekarang dan Akan Datang, semua tidak ada bedanya.
Dari logika tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa semua kejadian di Alam Semesta termasuk Takdir Manusia ‘Sudah’ tertulis di Lauhul Mahfudz, namun kita perlu sadari bahwa kitab tersebut diluar Ruang-Waktu maka pada hakikatnya kata ‘Sudah’ tersebut menjadi tidak ada artinya lagi. Kalaupun dipaksakan untuk me-Waktukan Lauhul Mahfudz pengertiannya bisa menjadi : Takdir kita sebenarnya sudah, sedang, dan sekaligus akan tertulis di Lauhul Mahfudz.
Jadi pada hakekatnya manusia punya Kebebasan Memilih kemana Takdir-nya akan mengalir, sedangkan apa yang akan didapatkannya nanti adalah Mutlak kehendak Tuhan. Apapun pilihannya dan apapun yang akan didapatkannya nanti, sebenarnya juga ‘Sudah’ tertulis pada kitab yang nyata, Lauh Mahfudz.
Sebenarnya dalam kehidupan ini kita selalu dihadapkan pada banyak pilihan, misalnya ada pilihan yang mudah dan menyenangkan namun dilarang Tuhan, sebaliknya ada pilihan susah dan mendaki namun itulah yang dikehendaki Tuhan.
Mana jalan takdir yang akan dipilih adalah Kehendak Bebas manusia, bagaimana pilihan tersebut diusahakan adalah Kehendak Terbatas manusia, terbatas karena masih tergantung pada banyak faktor yang diluar kuasa manusia, Sedangkan apapun hasil pilihan dan usaha manusia tersebut adalah Kehendak Mutlak Tuhan.
Jadi benarlah kata ungkapan yang sering kita dengar : Manusia hanya bisa berusaha, Tuhanlah yang menentukan. Atas pilihan dan usahanya itulah nanti, Tuhan minta pertanggungjawaban manusia.
Sumber : http://yoyonb.multiply.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar