Dari Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu beliau berkata, “Kami mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya, maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan utama)nya, maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya).” (HR Ibnu Majah (nο. 4105), Ahmad (5/183), ad-Daarimi (nο. 229), Ibnu Hibban (nο. 680) dan lain-lain dengan sanad yang shahih, dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, al-Bushiri dan Syaikh al-Albani).
Hadits yang mulia ini menunjukkan keutamaan cinta kepada akhirat dan zuhud dalam kehidupan dunia, serta celaan dan ancaman besar bagi orang yang terlalu berambisi mengejar harta benda duniawi (Lihat kitab аt-Targib wat Tarhiib, 4/55 karya Imam al-Mundziri).
Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:
- Orang yang cinta kepada akhirat akan memperoleh rezeki yang telah Allah tetapkan baginya di dunia tanpa bersusah payah, berbeda dengan orang yang terlalu berambisi mengejar dunia, dia akan memperolehnya dengan susah payah lahir dan batin (lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam kitab Igaatsatul Lahfaan, 1/37). Salah seorang ulama salaf berkata, “Barangsiapa yang mencintai dunia (secara berlebihan), maka hendaknya dia mempersiapkan dirinya untuk menanggung berbagai macam musibah (penderitaan).” (Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab Igaatsatul Lahfaan, 1/37).
- Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata (dalam kitab Igaatsatul Lahfaan, 1/37), “Orang yang mencintai dunia (secara berlebihan) tidak akan lepas dari tiga (macam penderitaan): Kekalutan (pikiran) yang selalu menyertainya, kepayahan yang tiada henti, dan penyesalan yang tiada berakhir. Hal ini dikarenakan orang yang mencintai dunia (secara berlebihan) jika telah mendapatkan sebagian dari (harta benda) duniawi maka nafsunya (tidak pernah puas dan) terus berambisi mengejar yang lebih dari pada itu, sebagaimana dalam hadits yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Seandainya seorang manusia memiliki dua lembah (yang berisi) harta (emas), maka dia pasti (berambisi) mencari lembah harta yang ketiga.‘” (HR. al-Bukhari, nο. 6072 dan Muslim, nο. 116).
- Kekayaan yang hakiki adalah kekakayaan dalam hati/jiwa. Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan (dalam) jiwa.” (HR. al-Bukhari, nο. 6081 dan Muslim, nο. 1051).
- Kebahagiaan hidup dan keberuntungan di dunia dan akhirat hanyalah bagi orang yang cinta kepada Allah dan hari akhirat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rezeki yang secukupnya dan Allah menganugerahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup dan puas) dengan rezeki yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepadanya.” (HR. Muslim, nο. 1054).
- Sifat yang mulia ini dimiliki dengan sempurna oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan inilah yang menjadikan mereka lebih utama dan mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala radhiallahu ‘anhu berkata, “Kalian lebih banyak berpuasa, (mengerjakan) shalat, dan lebih bersungguh-sungguh (dalam beribadah) dibandingkan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi mereka lebih baik (lebih utama di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala) daripada kalian“. Ada yang bertanya, “Kenapa (bisa demikian), wahai Abu Abdirrahman?” Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Karena mereka lebih zuhud dalam (kehidupan) dunia dan lebih cinta kepada akhirat.” (Atsar riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, nο. 34550 dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyaa’, 1/136 dengan sanad yang shahih, juga dinukil oleh Imam Ibnu Rajab dalam kitab Lathaiful Ma’aarif, hal. 279). dibandingkan generasi yang datang setelah mereka. Ibnu Mas’ud
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A | PengusahaMuslim.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar